Sambo Mengajar Jurnalisme. Jurnalisme?

Pak Tom* bersabda, kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran. Untuk melakukannya, kerja jurnalistik tak bisa lepas dari disiplin verifikasi.

Kenyataannya, verifikasi butuh waktu. Ia sulit ditempuh dengan lekas, utamanya zaman kiwari ketika perusahaan pers saling lomba menayangkan berita, sehingga kerja jurnalistik yang dilahirkan adalah jurnalisme cepat-cepatan, untuk tidak menyebutnya ugal-ugalan.

Dalam keadaan begitu, pers mengandalkan keterangan otoritatif lembaga berwenang. Polisi, misalnya. Lantas, bagaimana bila polisi berbohong? Sedangkan pers tak punya waktu dan iktikad baik menepati kewajibannya pada verifikasi?

Itulah kasus Sambo. Mantan Kadivpropam Polri itu, dalam jumpa pers Kapolri Jenderal Listyo Sigit, Selasa (9/8/2022), disangkakan pasal pembunuhan berencana. Ia dituduh memberi perintah kepada Bharada Eliezer, ajudannya, untuk membunuh ajudannya yang lain, Brigadir Yoshua, pada 8 Juli 2022 di rumah dinasnya di Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Bharada Eliezer (hitam) usai menjalani pemeriksaan Komnas HAM. Foto: ANTARA

Jumpa pers itu ditonton oleh pemirsa yang rasanya melampaui jumlah penonton final Piala Dunia. Pujian berhamburan di atas kepala Listyo, juga di atas kepala jajaran tim khusus bentukan Listyo, lantaran dianggap sukses membongkar kasus yang selama ini dikubur.

Publik mendadak amnesia bahwa pengubur kasus ini adalah anak buah Listyo pula: Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri sendiri. Biro tersebut menggelar konferensi pers resmi kepada awak media untuk “menerangkan”—sesuai namanya—peristiwa edan di rumah dinas Sambo itu, 3 hari setelah kejadian.

Dalam keterangan itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan, bilang ada baku tembak antara Yoshua dan Eliezer.

Keterangan dari biro yang bertanggung jawab atas penerangan informasi publik itu justru merupakan kegelapan itu sendiri. Kegelapan alam kubur (kuburan kasus~) yang belakangan dibongkar sendiri oleh Listyo juga.

Listyo sendiri yang menyampaikan, kutipannya saya terakan mentah-mentah, “Tidak ditemukan, saya ulangi, tidak ditemukan fakta peristiwa tembak-menembak seperti yang dilaporkan”. Yang ada, kata Listyo, adalah penembakan.

Pers Indonesia—kalau cukup bebal untuk mendaku “pers”—tentu langsung menayangkan kedua versi itu, walaupun kewajiban utamanya pada kebenaran. Masalahnya, jadi yang benar yang mana?

Jika versi pertama itu bohong, lantas mengapa pers mengutipnya seakan-akan benar? Apa bentuk tanggung jawab pers atas kebohongan publik yang mereka siarkan bak opera sabun ini?

Jika itu bohong, sudah berapa kali polisi bohong dalam jumpa-jumpa pers kasus lain? Berapa kali, pemerintah atau otoritas lain, telah berbohong dan kebohongannya dikutip mentah para tukang kutip? Dan akan berapa kali lagi?

Itu bukan lagi soal. Karena, kewajiban utama jurnalisme kini bukan lagi kepada kebenaran. Atau barangkali, yang dilakukan memang bukan jurnalisme sehingga tak lagi harus berurusan dengan kebenaran.

Jumlah pemirsa dalam rentang sebulan ini, sejak peristiwa di Duren Tiga terjadi hingga jumpa pers Listyo, adalah sebaik-baiknya pundi-pundi dan investasi. Dan para wartawan yang saya muliakan tak lebih dari sekrup tak bermakna dari sebuah mesin raksasa industri berita.

Truth in the making is not THE truth. Salam 10 artikel sehari!

***

Disclaimer: saya tak peduli polisi bohong. Itu sudah kodrat kekuasaan. Tapi, jurnalisme rasanya bukan lahir dari mimpi menyiarkan kebohongan.

*Tom Rosentiel, dedengkot jurnalisme yang bersama rekannya, Bill Kovach, menerbitkan magnum opus yang jadi buku babon calon jurnalis sedunia semasa belajar di kampus tentang elemen-elemen jurnalisme.

Diterbitkan oleh Vitorio Mantalean

Penikmat gubah, gita(r), gunung, dan gol.

Tinggalkan komentar